7.10.10

APA JAWABAN PADA RAB-MU NANTI ?

Itulah penggalan kata yang sederhana, mudah diucapkan, namun sangat berat jawaban dan konsekuensinya.  Bagi Umar bin Khaththab kalimat tersebut senantiasa melemahkan semua persendian tubuhnya.  Umar bin Khaththab, seorang shahabat yang keras dan tegas dalam bersikap, namun langsung gemetar dan tertunduk ketika mengenang kata-kata yang senantiasa menjadi kontrol internal dirinya.  Berkata Ahnaf bin Qeis dalam kita Khulafaaur Rasuul: “Ketika seorang lak-laki menemui Umar dan berkata: “Wahai Amirul Mu’minin belalah saya sebab si Anu telah menganiaya saya!”  Umar kemudian mencambuk orang tersebut seraya berkata: “Kalian panggil Amirul Mu’minin, dan memang dia disediakan untuk mengurusi kalian.  Tapi, mengapa tatkala ia sedang sibuk menyelesaikan suatu urusan, engkau datangi dan engkau mengatakan, “Belalah saya”.  Laki-laki itu pun berlalu dengan perasaan kecewa. 
            Seketika itu juga Umar kemudian sadar dan kemudian langsung memanggil laki-laki itu kembali dan mengatakan: “Terimalah, ambillah qishasmu terhadap diri saya”.  Namun laki-laki itu menjawab: “Demi Allah, tidak, tetapi saya akan menyerahkannya kepada Allah”. Umar sangat terpukul dan  kecewa sehingga nampak penyesalan yang amat dalam pada dirinya.
            Setelah orang itu berlalu kemudian Umar pergi ke rumahnya dan shalat dua raka’at, duduk dan menyesali dirinya dengan membatin: “Hai anak Khathab, dulu kamu rendah, kemudian ditinggikan-Nya, dulu kamu sesat, kemudian ditunjuki-Nya, dulu kamu hina, kemudian dimuliakan-Nya.  Setelah itu diberi-Nya kekuasaan atas pundak-pundak manusia.  Namun ketika seorang datang meminta pembelaan darimu, kamu justru memukulnya.  Maka apa yang akan kamu katakan kepada Rab-mu nanti ?” air mata Umar terus berlinang mengenang peristiwa itu. Dan sebuah kalimat muhasabah tersebut senantiasa mengiang ditelinganya.
            Demikianlah pribadi seorang pemimpin kaliber internasional seperti Umar terhadap rakyat yang memang menjadi tanggung jawabnya.  Sikap penyesalan yang teramat mendalam atas kesalahan yang dia lakukan terhadap rakyatnya. Kepemimpinan yang diamanahkan kepadanya benar-benar menjadikan beban yang sangat berat untuk dipertanggungjawabkan kelak.
            Tidak beda dengan shahabat yang lain seperti Ali bin Abi Thalib.  Beliau senantiasa tenggelam dalam tangis dan linangan air mata keharuan di saat bermunajat kepada Allah SWT.  Memohon ampun atas segala kekhilafan yang pernah dilakukannya.  Ali senantiasa mengingat sabda dari Rasulullah bagaimana beratnya suatu amanah kepemimpinan: “Setiap pemimpin yang diserahi kekuasaan atas kaum muslimin pada hari kiamat kelak akan didirikan pada ujung jembatan, dan para malaikat akan membawa lembaran hidupnya.  Jika dia adil, Allah akan menyelamatkannya karena keadilannya.  Jika dia zhalim, jembatan itu akan guncang, lemah dan kemudian melemahlah kekuatannya, dan akhirnya orang itu akan jatuh ke dalam api neraka.”  
            Rangkaian peristiwa yang begitu dramatis di negeri ini, mengingatkan kita kembali betapa beratnya tanggung jawab seorang pemimpin atau penguasa di hadapan Allah SWT kelak.  Apa yang akan engkau katakan wahai penguasa negeri kepada Rab-mu nanti perihal Kasus suap-Korupsi? Terhadap peristiwa berdarah Tanjung Priok, kerusuhan , kejadian kelabu peristiwa  pemerkosaan dan penjarahan, penculikan dan penyekapan berbagai aktivis, perampasan dan penggelapan hak-hak rakyat, kemerosotan taraf kehidupan disebabkan krisis ekonomi yang berkepanjangan, terhadap berjuta-juta masyarakat yang sedang kelaparan.  Jawaban apa yang akan engkau berikan terhadap Rab-mu nanti, wahai pemimpin dan penguasa negeri ? 
  

Tidak ada komentar: