20.4.12

Antara Kerudung, Jilbab dan Cadar

Assalamu’alaikum...kak.mau nanya mengenai berhijab menurut islam.ADA YG MEMAKAI CADAR,N AD YANG TIDAK ,MOHON PENJELASANNYA,
WSALKM (Jam'ani Hasan)

jawab:
Walaikum salam wr. Wb

Ketika melihat kondisi sekarang tanpaknya yang memakai kerudung dan jilbab sudah semakin membudayah, entah yang memakai karena sadar bahwa itu adalah wajib atau hanya mengikuti trend, sehingga ada yang ingin berpakain sebagai seorang Muslimah namun karena kurang memilki pemahaman dalam berpakaian syar’i sehingga ada yang asal berpakaian saja atau asal memakai kerudung saja. Disamping itu ada juga dari berbagai pandangan mengenai hukum memamakai cadar dalam Islam, ada yang berpemahaman memakai cadar itu wajib, sunnah dan mubah, sehingga ini perlu digali secara mendalam melalui nash-nash yang terdapat dalam Al-Quran maupun Hadits.

Namun sebelum membahas hukum memakai cadar, maka perlu lebih dahulu kita mengetahui jilbab dan kerudung karena perbincangan dalam masyarakat umum sering menyamakan kerudung dengan jilbab, padahal secara syara mempunyai makna yang berbeda.Untuk itu, perlunya kaum Muslimin membedakan jilbab, kerudung maupun cadar.


Muslimah Wajib Memakai JILBAB



Jilbab dan kerudung merupakan kewajiban atas wanita Muslimah yang ditunjukkan oleh dua ayat Al-Quran yang berbeda.Kewajiban jilbab dasarnya surah Al-Ahzab ayat 59, sedang kewajiban kerudung (khimar) dasarnya adalah surah An-Nur ayat 31.


Mengenai jilbab, Allah SWT berfirman (artinya),"Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min,'Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' (QS Al-Ahzab: 59). Dalam ayat ini terdapat kata jalabib yang merupakan bentuk jamak (plural) dari kata jilbab.Memang para mufassir berbeda pendapat mengenai arti jilbab ini.Imam Syaukani dalam Fathul Qadir (6/79), misalnya, menjelaskan beberapa penafsiran tentang jilbab.Imam Syaukani sendiri berpendapat jilbab adalah baju yang lebih besar daripada kerudung, dengan mengutip pendapat Al-Jauhari pengarang kamus Ash-Shihaah, bahwa jilbab adalah baju panjang dan longgar (milhafah).Ada yang berpendapat jilbab adalah semacam cadar (al-qinaa'), atau baju yang menutupi seluruh tubuh perempuan (ats-tsaub alladzi yasturu jami'a badan al-mar`ah).Menurut Imam Qurthubi dalam Tafsir Al-Qurthubi (14/243), dari berbagai pendapat tersebut, yang sahih adalah pendapat terakhir, yakni jilbab adalah baju yang menutupi seluruh tubuh perempuan.

Adapun dalil bahwa jilbab merupakan pakaian dalam kehidupan umum, adalah hadits yang diriwayatkan dari Ummu 'Athiah RA, bahwa dia berkata : 'Rasulullah SAW memerintahkan kaum wanita agar keluar rumah menuju shalat Ied, maka Ummu Athiyah berkata,Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab? Maka Rasulullah SAW menjawab: 'Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya!'(Muttafaqun alaihi) (Al-Albani, 2001 : 82). 


Berkaitan dengan hadits Ummu Athiyah ini, Syaikh Anwar Al-Kasymiri, dalam kitabnya Faidhul Bari, Juz I hal. 388, mengatakan : Dapatlah dimengerti dari hadits ini, bahwa jilbab itu dituntut manakala seorang wanita keluar rumah, dan ia tidak boleh keluar [rumah] jika tidak mengenakan jilbab. (Al-Albani, 2001 : 93). Dalil-dalil di atas tadi menjelaskan adanya suatu petunjuk mengenai pakaian wanita dalam kehidupan umum.Allah SWT telah menyebutkan sifat pakaian ini dalam dua ayat di atas yang telah diwajibkan atas wanita agar dikenakan dalam kehidupan umum dengan perincian yang lengkap dan menyeluruh. 
hadits dari Ummu 'Athiah RA di atas, yakni kalau seorang wanita tak punya jilbab untuk keluar di lapangan sholat Ied (kehidupan umum) maka dia harus meminjam kepada saudaranya (sesama muslim). 
Kewajiban ini dipertegas lagi dalam Kalau tidak wajib, niscaya Nabi SAW tidak akan memerintahkan wanita mencari pinjaman jilbab. Untuk jilbab, disyaratkan tidak boleh potongan, tetapi harus terulur sampai ke bawah sampai menutup kedua kaki, sebab Allah SWT mengatakan : yudniina alaihinna min jalabibihinnaâ (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka.). Dalam ayat tersebut terdapat kata yudniinaâ yang artinya adalah yurkhiina ila asfal (mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Penafsiran ini “yaitu idnaa` berarti irkhaa` ila asfal-- diperkuat dengan dengan hadits Ibnu Umar bahwa dia berkata,


Rasulullah SAW telah bersabda : 
Barang siapa yang melabuhkan/menghela bajunya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat nanti. Lalu Ummu Salamah berkata,Lalu apa yang harus diperbuat wanita dengan ujung-ujung pakaian mereka (bi dzuyulihinna).Nabi SAW menjawab,Hendaklah mereka mengulurkannya (yurkhiina) sejengkal (syibran)(yakni dari separoh betis). Ummu Salamah menjawab,Kalau begitu, kaki-kaki mereka akan tersingkap. Lalu Nabi menjawab,Hendaklah mereka mengulurkannya sehasta (fa yurkhiina dzira`an) dan jangan mereka menambah lagi dari itu.(HR. At-Tirmidzi Juz III, hal. 47; hadits sahih) (Al-Albani, 2001 : 89) 


Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa pada masa Nabi SAW, pakaian luar yang dikenakan wanita di atas pakaian rumah --yaitu jilbab-- telah diulurkan sampai ke bawah hingga menutupi kedua kaki. Berarti jilbab adalah terusan, bukan potongan.Sebab kalau potongan, tidak bisa terulur sampai bawah. Atau dengan kata lain, dengan pakaian potongan seorang wanita muslimah dianggap belum melaksanakan perintah yudniina alaihinna min jalaabibihina(Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbabnya). Di samping itu kata min dalam ayat tersebut bukan min lit tabâidh (yang menunjukkan arti sebagian) tapi merupakan min lil bayan (menunjukkan penjelasan jenis). Jadi artinya bukanlah Hendaklah mereka mengulurkan sebagian jilbab-jilbab mereka(sehingga boleh potongan),
melainkan Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka (sehingga jilbab harus terusan).(An-Nabhani, 1990 : 45-,51) 


Walhasil, jilbab itu bukanlah kerudung, melainkan baju panjang dan longgar (milhafah) atau baju kurung (mula`ah) yang dipakai menutupi seluruh tubuh di atas baju rumahan. Jilbab wajib diulurkan sampai bawah (bukan baju potongan), sebab hanya dengan cara inilah dapat diamalkan firman Allah (artinya) "mengulurkan jilbab-jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Dengan baju potongan, berarti jilbab hanya menutupi sebagian tubuh, bukan seluruh tubuh. (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima'i fil Islam, hal. 45-46).


Jilbab ini merupakan busana yang wajib dipakai dalam kehidupan umum, seperti di jalan atau pasar.Adapun dalam kehidupan khusus, seperti dalam rumah, jilbab tidaklah wajib. Yang wajib adalah perempuan itu menutup auratnya, yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, kecuali kepada suami atau para mahramnya (lihat QS An-Nur : 31).

Jilbab lebih lazim disebut orang Indonesia sebagai JUBAH

Muslimah Wajib Memakai KERUDUNG (Khimar)

Sedangkan kerudung, yang bahasa Arabnya adalah khimar, Allah SWT berfirman (artinya),"…Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya…" (QS An-Nur: 31). Dalam ayat ini, terdapat kata khumur, yang merupakan bentuk jamak (plural) dari khimaar.Arti khimaar adalah kerudung, yaitu apa-apa yang dapat menutupi kepala (maa yughaththa bihi ar-ra`su).(Tafsir Ath-Thabari, 19/159; Ibnu Katsir, 6/46; Ibnul 'Arabi, Ahkamul Qur`an, 6/65 ).

Mengenai tafsir ayat wal-yadhribna bi-khumurihinna ‘ala juyubihinna (QS 24 : 31), Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam (2003) hal. 68-69 mengatakan, kata khumur adalah bentuk jamak dari khimaar, yang artinya adalah maa yughathha bihi ar-ra`su (apa-apa yang digunakan untuk menutupi kepala).Ringkasnya, khumur adalah kerudung. Sedang juyuub adalah bentuk jamak jayb, yang artinya maudhi’ al-qath’i min al-dir’i wa al-qamish (tempat yang dipotong/terbuka pada baju atau kemeja). Ringkasnya, jayb adalah kerah/lubang baju.Jadi, perintah untuk menutupkan/mengulurkan kerudung ke atas juyub, artinya adalah adalah perintah menutupkan kerudung ke atas kerah/lubang baju yaitu pada sekitar leher dan dada.


Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani –rahimahullah– menegaskan,”Wa dharbu al-khimaar ‘alaa al-jayb layyuhu ‘ala thauq al-qamish min al-‘unuq wa ash-shadr.” (Menutupkan kerudung atas jayb, artinya mengulurkan kerudung itu ke atas kerah/lubang baju yaitu leher dan dada).(Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam (2003), hal. 69).

Kerudung atau khimar yakni menghamparkan penutup kepalanya di atas leher dan dadanya agar leher dan dadanya tertutupi.Yang merupakan kewajiban Muslimah untuk menggunakan terhadap bukan Muhrimnya dan ditempat yang umum.



Muslimah Tidak Wajib Memakai CADAR

Pernyataan bahwa wanita dalam Islam wajib mengenakan hijab untuk menutup seluruh wajahnya, kecuali kedua matanya, dapat dikategoriakan sebagai pendapat yang Islami.Pendapat tersebut telah dikemukakan oleh sebagian imam mujtahid dari berbagai mazhab yang ada.Sebaliknya, pernyataan bahwa hijab tidak diwajibkan atas wanita dalam Islam sehingga seorang Muslimah tidak perlu menutup wajahnya secara penuh karena wajah memang bukan aurat juga merupakan pendapat yang Islami.Pendapat yang terakhir juga telah dikemukakan oleh sebagian pemuka mujtahid dari berbagai mazhab.

Persoalan ini merupakan salah satu persoalan yang penting dalam interaksi antara pria dan wanita. Sementara itu, upaya untuk mengadopsi pendapat mana pun diantara kedua pendapat diatas akan mempengaruhi corak kehidupan Islam. 

Untuk itu, perlu dikemukakan dalil-dalil syariat yang terkait dengan persoalan ini secara menyeluruh.Caranya adalah dengan mempelajari dan mengkaji dalil-dalil tersebut serta menerapkan pada persoalannya. Dengan cara demikian itu, kaum Muslim dapat mengadopsi pendapat yang paling kuat dalilnya, dan Daulah Islamiyah sendiri yang dapat mengadopsi pendapat yang paling valid dengan didasarkan pada kekuatan dalilnya.

Memang benar, perdebatan semacam ini pernah muncul dan pengaruhnya masih terasa hingga kini. Akan tetapi, pembahasannya tidak sampai matang, serta tidak sampai pada level pengkajian yang didasarkan pada syariat ataupun dikaitkan dengan aspek interaksi pria-wanita. Padahal pengkajian semacam ini termasuk ke dalam pembahasan hukum-hukum syariat yang digali oleh para mujtahid yang disandarkan pada dalil atau sybhah-dalil (sesuatu yang mirip atau terkategori dalil), bukan termasuk ke dalam pengkajian pendapat para pengarang buku, orang-orang upahan, orang-orang bodoh yang tertipu, atau para propagandis yang haus akan kebudayaan Barat. Dengan kata lain, yang dijadikan topik pengkajian dan bahan diskusi dalam syariat adalah pendapat para mujtahid yang diskusi dalam masalah ini, juga terkait dengan berbagai para ahli fikih dan pra syaikh yang senantiasa fanatik terhadap hijab sehingga dapat menyingkirkan kesamaran dalam diri mereka.

Oleh karena itu, kami memaparkan sejumlah pendapat para mujtahid disertai dalil-dalilnya, sehingga akan tanpak pendapat yang dinilai paling layak. Siapa saja yang telah menemukan pendapat yang dianggap paling layak, wajib untuk mengamalkan pendapat tersebut serta merealisasikannya.

Kalangan yang mewajibkan wanita Muslimah untuk mengenakan hijab atas wajah menyatakan bahwa, aurat wanita meliputi seluruh anggota badan.Pengecualian wajah dan kedua telapak tangan hanya berlaku dalam shalat saja.Di luar waktu shalat, menurut mereka, seluruh anggata tubuh wanita aurat. Pendapat mereka disandarkan pada al-Quran dan Sunnah Nabi saw. 

Dari al-Quran, mereka mengutip firman Allah swt, sebagai berikut:
“Jika kalian meminta sesuatau (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), hendaklah kalian memintanya dari belakang tabir (hijab). (TQS al-Ahzab : 53)

Jarir ibn ‘Abdillah juga menuturkan :
“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw. mengenai pandangan yang tiba-tiba (tidak sengaja). Beliau kemudian menyuruhku untuk memalingkan pandanganku”.

Ali r.a. menuturkan bahwa Rasulullah saw juga pernah bersabda kepadanya demikian:
“Janganlah engaku mengikuti pandangan pertama dengan pandangan berikutnya. Pandangan pertama adalah hakmu sedangkan pandangan berikutnya bukanlah hakmu.

Dalil-dalil di atas dilontarkan oleh kalangan yang berpendapat bahwa wanita wajib untuk mengenakan hijab dan bahwa seluruh tubuhya wanita adalah aurat.Seluruh dalil yang dijadikan sandaran mereka tersebut pada dasarnya tidak relevan dengan pemasalahan ini.Firman Allah Swt yang berbunyi. Waqarna fi buyutikunna (Hendaklah kalian tetap di rumah-rumah kalian (QS. al-Ahzab:33)), tidak ada hubungannya sama sekali dengan kaum Muslimah secara keseluruhan. Kedua ayat di atas (maksudnya ayat ke 33 dan sebelumnya, ayat-32, pen) tersebut dikhususkan bagi istri-istri Rasulullah Saw.Makna kedua ayat tersebut sangat jelas jika dibaca secara keseluruhan. Keduanya, satu sama lain saling berkaitan, baik dari segi lafal maupun maknanya.

Sementara itu, Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah-rumah Nabi Saw, kecuali jika kalian diizinkan untuk makan tanpa menunggu-nunggu waktu masak (makanannya). Akan tetapi, jika kalian diundang, masuklah.Jika kalian telah selesai makan, hendaklah kalian keluar tanpa asyik memperpanjang percakapan. 

Sesungguhnya hal itu akan menggganggu Nabi, sementara ia malu kepada kalian (untuk menyuruh kalian keluar), sedangkan Allah tidak merasa malu menerangkan yang benar. Jika kalian meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi Saw), mintalah kalian dari belakang tabir.Cara semacam itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka.Kalian tidak boleh menyakiti hati Rasulullah dan tidak pula mengawini istri-istrinya selamanya sesudah wafat.Sesungguhnya perbuatan itu amat besar (dosanya) di sisi Allah. (QS. al-Ahzab : 53)

Ayat ini terkait dengan istri-istri Nabi dan khusus ditujukan kepada mereka; tidak ada hubungannya dengan kaum Muslimah atau wanita mana pun selain istri-istri Nabi Saw. Penegasan ini secara langsung terdapat pula pada ayat berikutnya setelah firman-Nya, wa yuthahhirukum tathhira, yang berfungsi sebagai penguat. Arti ayat tersebut berbunyi:

“Ingatlah oleh kalian (istri-istri Nabi) ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabi) yang dibacakan dirumah-rumah kalian. Sesungguhnya Allah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui”. (QS al-Ahzab : 34)

Ayat ini menyebutkan bahwa rumah-rumah para istri Nabi saw adalah tempat turunnya wahyu. Ayat ini juga memerintahkan mereka agar tidak melupakan ayat-ayat yang dibacakan di dalam rumah mereka.

Kedua ayat di atas secara jelas ditujukan khusus bagi istri-istri Nabi Saw; tidak ada satu petunjuk pun di dalamnya bahwa ketetapan hukumnya berlaku juga bagi para wanita Muslimah lain selain mereka. Di dalam ayat tersebut terdapat pula seruan yang ditujukan secara khusus bagi istri-istri Rasulullah Saw, misalnya firman Allah Swt yang artinya:
“….Tidak pula kalian mengawini istri-istrinya selamanya setelah ia wafat”. (QS al-Ahzab : 53)

Artinya, istri-istri Nabi Saw tidak boleh menikah setelah beliau wafat.Kenyataan ini berbeda dengan para wanita Muslimah lainnya, karena mereka boleh menikah jika lepas dari suaminya.Dengan demikian kedua ayat mengenai hijab khusus ditujukan bagi istri-istri Nabi Saw, sebagaimana laranagn bagi mereka untuk menikah setelah beliau wafat. Disini tidak boleh berlaku kaidah berikut:

“Berlakunya hukum ditentukan oleh umumnya lafal, bukan oleh khususnya sebab”.

Dalam konteks ini tidak bisa disimpulakan bahwa sebab turunnya ayat tersebut memang khusus berkaitan dengan istri-istri Nabi Saw, tetapi patokan hukumnya berlaku umum bagi mereka maupun para wanita Maslimah lainnya.Pendapat seperti tidak bisa diterima.Sebab, yang disebut dengan sabab an-nuzul (latar belakang turunnya) ayat adalah mengacu pada suatu peristiwa yang terjadi, sementara dalam ayat tersebut. Ayat tersebut merupakan nash tertentu yang menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang tertentu. Artinya, nashnya hanya menyagkut para istri Nabi Saw saja, sebagimana firman Allah Swt yang artinya:

“Wahai istri-istri Nabi, kalian berbeda dengan wanita yang lain”. (TQS al-Ahzab : 32)

“Apabila kalian hendak meminta (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi Saw)”. (TQS al-Ahzab : 53)

Selain itu, adanya kata ganti (dhamira) yang mengacu pada para istri Rasulullah Saw dan adanya ketentuan yang hanya ditujukan untuk mereka saja, bukan yang lain, merupakan ‘illat (alasan) bahwa perintah untuk mengenakan hijab pun hanya khusus bagi mereka saja

Dengan demikian, para istri Nabi Saw tidak wajib dijadikan suri teladan (bagi seluruh Mukmin), sehingga setiap Mukmin akan melakukan suatu perbuatan karena perbuatan tersebut dilakukan oleh mereka. Yang wajib diteladani dan dicontoh hanyalah Rasulullah Saw saja. Sebab beliau melakukan apapun , kecuali senantiasa berlandaskan pada wahyu.

Sementara itu, hadis-hadis yang dijadikan dalil oleh mereka tentang keharusan wanita Muslimah mengenakan hijab atas wajah sesungguhnya tidak menunjukkan pengertian ini. Sebab, hadis mengenai budak mukatab-jika ia mampu membayar tebusannya yang diperntahkan untuk mengenai hijab di hadapan tuannya, adalah khusus terkait dengan istri-istri Nabi Saw. hadis ini diperkuat hadis lain. Abu Qilabah bertutur:

“Istri-istri Nabi Saw tidak mengenakan hijab di hadapan budak mukatab yang masih memiliki harta satu dinar(untuk tebusan)”.

Di sini, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa wanita Muslimah harus mengenai hijab atas wajah.
Di sisi lain, hadis Ummu Salamah serta permintaan Nabi saw kepadanya dan kepada Hafsah agar masing-masing mengenakan hijab atas wajah adalah hadis daif (lemah), sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Apalagi hadis tersebut hanya khusus ditujukan bagi istri-istri Rasulullah Saw, yakni Ummu Salamah dan Hafshah.


Sementara itu, Aisyah ra bertutur:
“Para penunggang (unta dan kuda) pernah melewati kami, sementara kami bersama-sama Rasulullah Saw sedang berihram. Tatkala mereka mendekat kearah kami, salah seorang di antara kami menurunkan jilbabnya dari rambut ke wajahnya, ketika mereka berlalu, kami membukanya kembali.”

Hadis ini bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Ibn ‘Umar. Ia menyatkan bahwa Nabi Saw pernah bersabda yang artinya:

“Wanita yang sedang berihram tidak wajib menutup wajahnya (mengenakan cadar) dan tidak wajib pula menutup kedua tanggannya.”

Dalam kitab Fath al-Bahri, disebutkan bahwa cadar adalah kain yang dikenakan di atas hidung atau di bawah lekukan mata. Dengan demikian, hadis Aisyah ra menyebutkan bahwa wanita yang sedang berihram telah menutupi apa pun kecuali bagian bawah wajah. Jika demikian kenyataannya, lantas bagaimana mungkin pengertian kedua hadis tersebut dikaitkan dengan upaya untuk menutupi wajah seluruhnya dengan kain dan menghamparkannya di atas wajah? Dengan merujuk pada kedua hadis tersebut, jelaslah bahwa, hadis Aisyah bersumber dari penuturan Mujahid. Yahya ibn Sa’id al-Qaththan telah menyatakan bahwa ia tidak pernah mendengar hadis tersebut dari Aisyah. Sebaliknya, hadis yang dituturkan oleh Ibn ‘Umar adalah hadis shahih yang telah dikemukakan oleh Imam al-Bukhari.Oleh karena itu, hadis yang dituturkan oleh Aisyah dengan sendiriannya tertolak karena dha’if dan bertentangan dengan hadis shahih, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah.

Sementara itu, hadis mengenai Fadl ibn ‘Abbas bukanlah dalil bagi keharusan untuk mengenakan hijab, tetapi justru merupakan dalil bagi tidak keharusan untuk mengenakan hijab.Sebab, Khuts’amiyah sendiri ketika menanyakan sesuatu kepada Rasulullah Saw, wajahnya tampak. Buktinya, Fadhl sempat memandang wajahnya dan adanya kalimat terakhir yang tercantum dalam hadis tersebut berbunyi sebagai berikut:

“Oleh karena itu, Rasulullah Saw, memalingkan wajah Fadhl ke arah yang lain.”

Dalam riwayat dari Ali bin Abi Thalib ra ditambahkan keterangan sebagai berikut:
“Abbas ra kemudian bertanya kepada Rasulullah Saw, “Ya Rasulullah mengapa engkau memalingkan leher keponakanmu?” Rasulullah Saw menjawab, “Karena aku melihat pemuda dan seorang pemudi yang tidak aman dari gangguan setan.”

Dengan kata lain, hadis mengenai Khuts’amiyah menunjukkan tentang ketidakharusan wanita Muslimah untuk mengenakan hijab, bukan menunjukkan tentang kewajiban untuk mengenakan hijab.Alasannya Rasulullah Saw, sendiri melihat Khuts’amiyah yang memperlihatkan wajahnya, sehingga beliau memalingkan pandangan Fadhl, karena ia memandang wanita tersebut dengan disertai syahwat, sebagaimana dinyatakan dalam hadits riwayat Ali ra,’…. yang tidak aman dari gangguan setan’.

Karena itulah, Rasulullah Saw memalingkan wajah Fadhl, karena ia memandang wanita tersebut dengan syahwat, bukan memandangnya dengan pandangan biasa atau wajar. Padahal, memandang wanita asing yang disertai dengan syahwat meskipun hanya melihat wajah dan kedua telapak tangan adalah tindakan yang diharamkan.

Sementara itu, dalam hadis tentang pandangan yang tiba-tiba (tidak sengaja), Rasulullah Saw memerintahkan Jarir untuk memalingkan atau menundukkan pandangannya, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah Swt yang artinya,:

“Katakanlah kepada laki-laki Mukmin, hendaklah mereka menahan pandangannya.” (TQS an-Nur : 30)

Yang dimaksud ayat ini adalah pandangan yang tiba-tiba terhadap selain wajah dan kedua telapak tangan wanita yang termasuk aurat, bukan pandangan terhadap wajah dan kedua telapak tangan.Sebab, melihat wajah dan kedua telapak tangan wanita merupakan tindakan yang dibolehkan, meskipun secara sengaja.Dalilnya adalah adanya kebolehan untuk memandang wajah dan kedua telapak tangan wanita sebagaimana yang tercantum dalam hadis mengenai Khuts’amiyah.Selain itu, Rasulullah Saw sendiri telah melihat wajah kaum wanita tatkala mereka membaiat beliau dan tatkala beliau memberikan nasihat kepada mereka.Kenyataan ini menunjukkan bahwa, yang menjadi pokok masalah adalah pandangan yang tidak disengaja terhadap anggota badan wanita selain wajah dan dua telapak tangan.

Atas dasar ini berarti tidak terdapat hadis yang menunjukkan bahwa Allah Swt telah mensyariatkan wanita Muslimah untuk mengenakan hijab atas wajahnya, sebagaimana yang diserukan oleh mereka yang berpendirian seperti ini.

Sebagaimana diketahui, wajah dan kedua telapak tangan wanita bukanlah aurat.Oleh karena itu, seorang wanita boleh  keluar menuju pasar atau melewati jalan umum menuju ke tempat mana pun dengan menampakkan wajah dan kedua telapak tangannya.Sebab, hal ini telah ditegaskan di dalam al-Quran maupun hadis. Dalam al-Quran terdapat firman Allah Swt yang artinya:

“Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa tanpak pada dirinya, dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya.” (TQS an-Nur : 31)

Secara literal atau tekstual (manqul), pengertian kalimat dari ayat tersebut dikemukakan oleh ibn Abbas.Ia menafsirkan bahwa yang dimaksud ma zhahara minha (apa yang biasa tampak pada dirinya) adalah wajah dari kedua telapak tangan. Pendapat ini sejalan dengan pendapat para ahli tafsir yang lain. Ibn Jarir ath-Thabari menyatakan demikian:

“Yang paling benar dalam masalah ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud adalah wajah dan dua telapak tangan”.

Imam al-Qurthubi juga berpendapat:
“Wajah dan kedua telapak tangan lazim tampak, baik dalam adat kebiasaan maupun dalam prosesi peribadatan seperti haji dan shalat. Oleh karena itu layak jika pengecualian itu dikembalikan maksudnya pada dua anggota badan ini”.

Meskipun demikian, pendapat mengenai keharusan wanita Muslimah untuk mengenakan hijab atas wajah merupakan pendapat yang Islami karena terdapat syubhah ad-dalil (sesuatu yang mirip dalil).Pendapat semacam ini telah dilontarkan oleh sejumlah pemuka mujtahid dari berbagai mazhab.Akan tetapi, harus diakui bahwa, syubhah ad-dalil yang diungkapkan oleh mereka termasuk lemah sehingga nyaris tidak relevan untuk dijadikan sebagai dalil.


Kini, tinggal satu persoalan yang masih tersisa, yakni berkaitan dengan pendapat yang dilontarkan oleh sebagian mujtahid bahwa, hijab atas wajah telah disyariatkan kepada wanita karena adanya kekhawatiran akan menampakkan wajahnya di tengah-tengah kaum pria bukan karena wajah itu aurat, tetapi karena adanya kekhawatiran akan munculnya fitnah. Pendapat semacam ini keliru ditinjau dari berbagai sisi.

Pertama, tidak ada dalil yang melarang menampakkan wajah disebabkan adanya kekhawatiran akan munculnya fitnah, baik itu dalam al-Quran, Sunnah, Ijma Sahabat, ataupun ‘illat syari’iyyah yang dapat di-qiyaskan (dianalogikan) terhadap masalah ini. Oleh karena itu, pendapat semacam ini tidak ada nilainya dihadapan syariat dan tidak diangggap sebagai hukum Islam. Sebab, hukum Islam adalah seruan asy-Syari’ (Pembuat Hukum) yakni Allah, sementara larangan untuk menampakkan wajah karena adanya kekhawatiran akan munculnya fitnah tidak berasal dari seruan-Nya. Jika telah diketahui bahwa dalil-dalil syariat dalam dalam bentuk yang mengikat, berarti ayat-ayat dan hadis-hadis yang telah membolehkan wanita Muslimah untuk menampakkan wajah dan kedua tangannya secara mutlak; tanpa persyaratan apa pun dan tanpa ada penegecualian dalam keadaan apa pun. Artinya, larangan menampakkan wajah merupakan upaya pengharaman apa yang telah dihalalkan oleh Allah Swt dan kewajiban untuk menutupinya merupakan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah diwajibkan oleh Allah Penguasa semesta alam. Dengan kata lain, pendapat semacam ini, selain tidak dianggap sebagai bagian dari hukum Islam, juga bertentangan dengan hukum Islam itu sendiri yang secara jelas tercantum dalam nash.

Kedua, sesungguhnya upaya menjadikan kekhawatiran akan muncul fitnah sebagai illat melarang wanita Muslimah menampakkan wajah sekaligus untuk mewajibkan wanita Muslimah agar menutupinya, tidak terdapat dalam nash syariat mana pun, baik secara jelas (sharahatan), melalui penunjukkan (dilalatan), lewat proses penggalian (istinbathan), maupun melalui analogi (qiyasan). Artinya, tidak ditemukan adanya ‘illat syar’iyyah (alasan yang digali dari syariat). Yang ada hanyalah ‘illat’aqliyyah (alasan yang hanya diambil dari proses rasionalisasi). Padahal, ‘illat’aqliyyah tidak ada nilainya di hadapan hukum syariat. Yang diakui hanyalah ‘illat syar’iyyah, bukan yang lain. Walhasil, kekhawatiran akan munculnya fitnah tidak bisa dijadikan tolak-ukur di dalam proses penetapan larangan untuk menampakkan wajah sekaligus penetapan kewajiban untuk menutupinya. Sebab, ketetapan semacam ini tidak ditemukan dalam nash syariat.

Ketiga, terkait dengan kaidah berikut:
“Sarana yang dapat mengantarkan pada sesuatu yang haram adalah haram”.

Kaidah semacam ini tidak relevan dengan larangan untuk menampakkan wajah karena takut muncul fitnah. Sebab, kaidah ini mengharuskan adanya dua hal: (1) Sarana yang dapat mengantarkan pada sesuatu yang haram tersebut diduga kuat memang dapat menghasilkan keharaman, artinya akibat yang bakal ditimbulkannya (baca: keharaman) adalah sesuatu yang pasti dan diduga kuat tidak akan meleset. (2) Keharaman yang ditetapkan itu memang telah dinyatakan secara jelas dengan nash, bukan dengan dilandaskan pada akal.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Rasulullah Saw memalingkan wajah Fadhl dari Khuts’amiyah.Sebaliknya, beliau tidak memerintahkan Khuts’amiyah agar menutupi wajahnya, padahal wajahnya jelas terlihat.
Seandainya fitnah itu diharamkan atas orang yang membuat fitnah (sebagaimana Khuts’amiyah), maka Rasulullah Saw pasti telah memerintahkan Khuts’amiyah untuk menutupi wajahnya, karena jelas sekali pandangan Fadhl kepada wanita itu telah menimbulkan fitnah (keterpesonaan) pada dirinya.

Namun demikian, beliau tidak menyuruh Khuts’amiyah untuk menutupi wajahnya.Beliau malah memalingkan pandangan Fadhl.Kenyataan ini menunjukkan bahwa, pengaharaman tersebut ditujukan bagi orang yang melihat (pria), bukan bagi yang dilihat (wanita). 
Atas dasar ini pula, pengharaman adanya fitnah pada diri sesorang karena memandang wanita sebetulnya tidak dinyatakan dalam satu nash pun yang menetapkan adanya keharaman wanita yang menimbulkan fitnah. Bahkan, nash yang ada justru menunjukkan tidak adanya keharaman fitnah tersebut atas wanita, sehingga dengan sendirinya apa yang dapat menimbulkan fitnah itu tidaklah haram, meskipun hal itu bersifat pasti.

 Meskipun demikian, Daulah Khilafah boleh saja menerapkan suatu kebijakan sebagai upaya praktis dalam rangka mengurus umat untuk menjauhkan seseorang dari pandangan yang dapat menimbulkan fitnah.Upaya ini dilakukan untuk menghidarkan sumber fitnah di tengah-tengah masyarakat, jika memang fitnah telah menyebar secara merata pada setiap individu yang ada.Kebijakan semacam ini pernah diterapkan oleh Khalifah Umar ibn al-Khaththab terhadap Nashr ibn Hajjaj
.Ia dipindahkan ke wilayah Bashrah karena wanita terpikat oleh ketampanannya. Fenomena semacam ini bisa terjadi secara umum, baik pada pria maupun wanita.Dengan demikian, pendapat bahwa wanita haram menampakkan wajahnya karena khawatir dapat memunculkan fitnah tidak bisa diterima, maskipun munculnya fitnah tersebut sudah dipredeksikan pasti terjadi. (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima'i fil Islam) .

Maka, jelaslah bahwa Muslimah wajib memakai jilbab dan kerudung sedang cadar tidak diwajibkan baginya. Wallahu a’lam bi al-shawab


Tidak ada komentar: